Kamis, 08 April 2010

Apa Kau Tahu?

Oleh : Ahmad Zulkarnain Kelas IX



“Yang itu, Yun!”
“Ini?”
Di bawah kaki langit, di bawah gantungan awan, di bawah kepakan sayap malaikat, di bawah taburan bintang, di bawah itu semua cerita mulai bermula.
“Iya.”
Ini bukan cerita perang, horor, legenda, atau mitos.
“Silakan.”
Ini cerita cinta.
”Oke, istirahat dulu gih, sore jam 3 Loe ambil cucian Gue di Pak Sulaiman.”
Apa kau tahu cinta?
”Ya, kak”
Cinta adalah ...
Yuni lantas menuju kamarnya. Membantu saudara dan menjadi pembantu ternyata samar bedanya. Kata ’kalau saja’ yang hinggap, termuntahkan begitu saja, bukan, ini bukan karena penyesalan, ini karena ...
Definisi yang begitu membingungkan.
Saat itu usia Yuni masih begitu tak seberapa, 7 tahun. Dan 7 tahun pertama dalam hidupnya dilewati dengan bahagia, ia punya seorang yang begitu wajibnya menjaga dan melindunginya, suka-duka-suka-...
Sampai duka menerjangnya.
Ia kehilangan definisi yang membingungkan yang kedua dalam hidupnya, khianat menodai senyumnya, saat malaikat berkuasa menjalankan tugas: membawa berita duka dari ibunya, perempuan itu tak lagi bernyawa.
Tak usah kau tertawa karenanya.
Di bawah kaki langit, saat ini Yuni sedang merebahkan badannya 5 tahun setelah itu atau sekarang dari 5 tahun lalu, tahun 2004, di rumah mewah ia bernaung bersama Om, Tante, dan keponakannya untuk menjadi saudara dan membantunya.
Di bawah gantungan awan, sebuah kurva yang semakin naik karena ’sesuatu hal’ telah membumi hanguskan kemalasannya yang sebelumnya terpelihara saat Yuni masih menjadi anak pada umumnya, memberi kado raport merah.
Di bawah taburan bintang, Yunita Anggraeni, 12 tahun di tahun 2004 ini, masih akan membantu jam 3 nanti, masih 2 jam lagi. Ajaib, seketika tabung elektron penembak piksel bernama televisi mengeluarkan cahaya saat sinar infra merah remote beraksi, lalu tampillah air asin Samudra Hindia yang jalan-jalan ke Aceh dengan kecepatan sekitar 800 km/jam yang membuat orang lain secara formal ikut-ikutan bela sungkawa, sebiji bom atom pun tak lebih hebat dari salah satu kuasa Yang Maha Berkehendak. Tak lama atas kuasa-Nya pula Yuni tidur bersama televisi yang error, tidak muncul gambar apapun, biasa disebut gejala dimatikan.
Pukul 15.00.
Ia masih tidur
Pukul 15.49.
Ia bangun, melihat foto pria berjas pemimpin suatu Republik berikut jam dinding di sebelahnya. Karena bukan rahasia ini cerita cinta, maka efek dramatis harus ada, Yuni kaget melihat jam yang diam tak mengagetkannya, kemudian buru-buru menjalankan misi yang diamanahkan Kak Jessica, 14 tahun, keponakannya, yakni mengambil selimutnya di laundry Pak Sulaiman, tak jauh, kalau dengan Yamaha YZR-M1 yang dikendarai Mas Rossi. Tapi lain lagi ceritanya kalau harus didramatisir, Yuni mengendarai sepeda yang baik jalannya yang memang jatahnya. Sayangnya tidak terjadi apa-apa, misal ada laki-laki tajir membawa buku tak sengaja ditabraknya, kemudian Yuni sebagai orang baik membantu mengambil buku orang tadi, di saat bersamaan orang tersebut juga mau mengambil dan ending-nya, tangan mereka bersentuhan. Oh roman sinetron abad 21. Sayangnya tidak terjadi apa-apa
“Pak, selimutnya Kak Jessica udah jadi?” tanya Yuni sesaat setelah berhasil mencapai tujuan tanpa terjadi kejadian seputar merah muda rasa
“Udah neng, ini.”
“Makasih mang, biayanya berapa ya?”
“Rp 20.000,00.”
Setelah melaksanakan transaksi Yuni kembali secepatnya, takut kena tilang keponakannya yang tak mau kalah debat. Hawa pegunungan Bandung masih sama seperti sebelumnya, sejuk. Menikmati panorama kebun teh di tengah perjalanan amal bersama selimut adalah salah satu dari sedikit pengobat jenuh dari rutinitas perintah Om dan Tantenya plus si ‘tak mau kalah debat’. Parijs Van Java, sejuknya.

---

Sebentar lagi Matahari Bandung akan menanggalkan sinarnya, sekarang pukul 5 sore, di rumah Om Farhan tidak ada kebahagiaan yang didapatnya dulu, dulu sekali, di sebuah kota metropolis pusat Jawa Tengah, di rumah kecil nan asri, di Semarang.
Apa kau tahu Semarang? Sebuah pesona Asia? Kota yang dianugerahkan Tuhan dengan limpahan air-Nya--terlalu lebih malah-- yang penduduknya takut air ketika mendung menyapa, walau banyak juga yang berhasil mengalahkan takutnya dan jadi atlit renang. Tapi yang paling hebat adalah: Semarang is capital of Central Java! Sebuah ibukota di tengah gemah ripah lohjinawi! Apa kau tahu itu? Apa kau percaya itu?
Dan di Semarang itu, dan di rumah kecil nan asri tempat tinggal pertama Yuni itu, definisi yang membingungkan episode 1 dan 2 hilang. Yunita Anggraeni, 12 tahun, 7 tahun saat itu, tidak bisa lagi mengucap salam pada ibunya yang telah pergi jauh, dan seorang personel mal Giant, ayahnya, sudah membimbing Sang Ibu pergi jauh 1 tahun sebelumnya. Tak disangka, ia harus menghadiahi ibunya untuk terakhir kali dengan penyesalan kurva menurun, penyesalan karena hasil yang menurun, hasil akademik. Disangka pun bisa, masa lalu tidak bisa dirubah, semua tahu saat semua sudah terlambat, sayang sekali.
Sejak itu, Omnya, Drs. H. Farhan Pramuditya, MT, menawarkan pada Yuni semacam Job Vacancy, disekolahkan dengan syarat dan ketentuan berlaku, mudah saja, hanya menjadi pembantu dengan label ‘membantu saudara’, itulah kenapa membantu saudara dan menjadi pembantu samar bedanya
“Tapi aku boleh bawa sepedaku kan?” tanya Yuni saat itu sambil menunjuk sepeda yang memang miliknya, sepeda perempuan, merah delima dengan sedikit corak coklat karat, begitu menggoda, untuk dijual.
Melihat sepeda itu Om Farhan hanya mengangguk miris, walau sebenarnya sinis, mungkin ia membatin ”Anak kakakku memang pantas jadi babu rumahku”. Sungguh memprihatinkan, sungguh merepotkan, apa jadinya garasi yang biasa untuk menginap Toyota Innova tipe G disandingkan dengan sepeda butut yang masih saja bertuan?
Maka sejak itu, sejak lolos seleksi Job Vacancy, di rumah perbukitan Bandung Utara, semenjak definisi yang membingungkan satu per satu hilang, semenjak ia mengamini permintaan terakhir ibunya untuk belajar lebih keras agar bisa menjadi pengobat orang saat ia terpisah dari garda depan sekolah—terakhir kalinya sebuah raport merah Yuni untuk ibunya, penyesalan semenjak kurva yang terus menurun, di depan raga sang ibu Yuni bersumpah:
”SAYA YUNITA ANGGRAENI, MULAI SAAT INI AKAN BERUSAHA MEWUJUDKAN CITA BAPAK, CITA IBU, DAN CITA YUNI UNTUK BERSEKOLAH SETINGGI-TINGGINYA, DIMANAPUN, AGAR BISA MENJADI DOKTER, WALAU SEMUA MEREMEHKANKU”
Apa kau pernah?

---

5 tahun kemudian Bendera Merah-Putih berkibar elok di tengah barisan biru muda-putih yang tak kalah eloknya, dan didepan barisan itu, disamping indahnya bendera merah-putih, para pemakai seragam dinas berjajar, rapi sekali. Di tengah semua elemen sekolah berdiri sosok yang biasa digambarkan berkaca mata tebal, berkumis, memakai seragam dinas dan dipastikan gentle tulen, dialah Bapak Kepala Sekolah yang kita hormati
Hari Senin yang cerah adalah hari upacara yang temanya tak jauh dari kisah heroik pejuang yang sukses berjuang membela kebenaran, dan bapak yang kita hormati pun sedang menyampaikan serupa. Tapi hari Senin tahun 2009 ini punya 1 perbedaan latar, di bawah tiang terdapat sebuah meja, meja biasa, tetapi barang di atasnya, sebuah logam yang dibentuk indah, dicat kuning keemasan dengan ornamen kecil, dan tulisan kebanggaan pembuat prestige naik ‘Juara 1 Lomba Mata Pelajaran Tingkat Kota Bandung 2009/2010’, sebuah piala! Benar-benar sebuah piala dari lomba yang diikuti Yuni beserta siswa lain yang dipilih untuk memiliki kebanggaan
Setelah bapak kepala sekolah puas menunjukkan beliau pintar pelajaran sejarah beliau berkicau merdu kembali menyampaikan intro perihal piala prestige, agak lama memang, kemudian dilanjutkan penyerahan piala pada yang berhak, apa kau tahu siapa?
Akhirnya setelah bertahun-tahun lamanya sumpah tanpa dusta telah Yuni pertahankan ia mendapati hasil menakjubkan yang kata orang adalah sebuah keadilan, Yunita Anggraeni, 17 tahun, kelas 3 SMA, sampai detik terakhir tak jua disebut namanya, dan piala itu, piala penaik prestige itu, bukan untuknya, sama sekali bukan. Apa kau tahu kekecewaan orang yang berhari-hari belajar, berdoa, belajar lagi, dan berdoa lagi tanpa lupa membantu saudara mendapati keadilan di akhirnya? Apa kau sungguh-sungguh tahu?
Dan saat ini, saat hujan Februari masih saja nyata, tahun 2009, dalam alunan upacara, satu prajurit yang kita sebut saja ‘Siswa Pintar’ maju ke depan dengan gagahnya seperti orang yang berhasil membelokkan orbit Planet Nibiru, seperti orang yang mendapat Nobel Perdamaian 2009 yang bapak tirinya adalah WNI original. Dan ia begitu girang seperti calon yang menghadap bapak-bapak ketua dan wakil suatu republik. Sungguh, laki-laki inilah pemilik piala itu, walau Siswa Pintar tak bersumpah, walau Siswa Pintar tak membantu saudara, walau Siswa Pintar tak sering berdoa, tapi Siswa Pintar tetap sah pemilik piala, begitulah nasib yang telah digoreskan Allah, Sang Maha Berkehendak!
”Nanti ya!” ucap Yuni pada seorang siswa pemilik piala seusai upacara
”Ha?”
”Nanti di rumahku”
”Oh iya”
Pagi telah berganti menjadi siang, daerah pemilik oncom dari olahan jamur Neurospora crassa memasuki babak baru
“Assalamualaikum” salam Siswa Pintar pada penghuni rumah mewah mepet rumah mewah
Tak berapa lama Yuni keluar, siang ini di rumah hanya ada Yuni, Om Farhan rutin di kantor, Tante rutin di rumah ibu-ibu lain untuk sharing berita terbaru, dan Kak Jessica yang terlahir 2 tahun lebih dulu darinya sedang rutin di mall, hang out
“Waalaikumsalam, mari masuk!”
Siswa Pintar yang benar-benar pintar masuk, ia tak tahu gadis 17 tahun penggiat kurva naik ini mempersiapkan sesuatu untuknya, sebuah pertanyaan! Mungkin pertanyaan yang menyangkut hubungan laki-laki dan perempuan, sebuah pertanyaan pengganti status. Aneh, kekecewaan menimbulkan definisi yang membingungkan
“Udah lama ya?”
Diawali dengan sedikit basa-basi, lalu tunggu sampai jawaban khas laki-laki lewat
“Nggak kok”
“Eh Sis, aku mau tanya, jawab sedetail-detailnya ya”
Berani juga Yuni langsung pada pokok pembicaraan
“Tanya apa?”
Siswa Pintar tampak memancing pertanyaan
“Gini Sis, kok kamu bisa menang lomba, rahasianya apa? maaf lho bukannya ngejek”
Ternyata bukan pertanyaan pengganti status
“Kalau itu sih pasti kamu tahu, yang pengen kamu tanyakan kenapa bukan kamu begitu kan? mudah, karena pengalamanku lebih banyak dari kamu, karena itu ...”
”Tapi kan nggak ada yang nggak mungkin selama mencoba” Yuni memberikan argumennya
”Semua butuh proses Yun, bagi siapapun itu, kenapa bukan kamu, karena kamu tak berusaha lebih keras dariku, saat kamu belajar apa kamu pikir aku nggak belajar, aku lebih punya pengalaman di bidang ini dari kamu, aku selangkah di depanmu dan sudah melewati proses mencari pengalaman itu, tapi kamu belum, tidak ada keberhasilan dari sesuatu yang instan bukan? Maka kamu harus melewati setiap tahapan walau pertamanya gagal, dan percayalah satu hal, mimpi dari orang berusaha adalah mimpi indah yang nyata” khotbah Siswa Pintar memberi motivasi
Yuni diam tapi sudah menyetujui Siswa Pintar. Seorang junior dikatakan megalahkan senior ketika ia berusaha lebih banyak dari pendahulunya untuk meraih mimpi, mimpi yang berawal dari sumpah yang menjadi benang merah pendorong kehidupan manusia, mimpi yang diwujudkan dari kesungguhan ’Aku bisa’ untuk tidak berhenti bercita, dan mimpi yang diakhiri kebanggaan untuk bertanya pada orang lain ”Apa kau bisa juga?”
Ya Allah, berilah hamba-hambamu mimpi indah yang nyata. Amin.

---

”Yuni, kesini sebentar, Nak” perintah Om Farhan
”Ada apa, Om?”
”Begini Yun, kamu disini sudah Om anggap anak sendiri, kamu sudah membantu banyak sekali, Om sendiri juga sudah menyekolahkanmu, kamu tahu lah, tapi...” Om Farhan mencoba basa-basi dahulu di balik sifat sedikit antagonisnya
”Bukannya Om tidak mau ya, tapi kalau yang berhubungan dengan dokter Om nggak bisa bayarin kamu, Om kan juga punya anak-istri yang harus dinafkahi, kalau cuma untuk bayar pendidikanmu jadi dokter Om angkat tangan, maaf ya, lagian kenapa harus dokter?” tanya Om Farhan yang sebetulnya juga protagonis
Petir berhamburan menerjang menyerang harapan, elok nian mimpi dikalahkan uang, kapan Indonesia menerapkan rumus ”Sekolah gratis = Kesempatan mencetak generasi sukses lebih besar + peluang Indonesia semakin maju semakin besar” ini? Apa terlalu sibuk memikirkan rencana 5 tahun ke depan sampai lupa investasi bagi generasi muda?
Yuni berpikir dalam, kalau ia menyerahkan nasibnya pada takdir yang nyatanya ada yang bisa dirubah, kata ’kalau saja’ akan mewarnai hidupnya seperti sedia kala, Om Farhan masih menunggu jawaban Deal or No Deal sembari menonton artis tapi bukan manusia, adalah televisi, menayangkan sosok wanita cantik bernama Maria Ozawa yang diributkan manusia normal dan lebih normal, Gempa Padang akhir bulan nanti yang lebih mengerikan dari film Saw pun tak lebih menghebohkan. Terlalu
Adalah sebuah anugerah Edison menemukan bohlam yang dapat memancarkan sinar sendiri, seperti sebuah harapan yang tadinya buntu ternyata bisa terwujud, dan saat ini, Edison membantu lagi dengan menemukan bohlam yang menyala bila diletakkan di atas kepala, sebuah ide!
”Yuni sudah janji sama Ibu untuk kuliah jadi dokter, gimana kalau sebagian dibiayai dari beasiswa, Om?
Sebuah counter dari harapan menyerang balik petir, siapa yang akan menang?
Om Farhan tidak menyadari satu kata pembalik keadaan, terpaksa Om berjenggot mempesona ini berpikir lagi. Sebuah takdir dari Yang Maha Berkehendak menentukan nasib seorang gadis yang tengah diujung jurang kebuntuan yang dengan sepenuh hati berjanji menjadi dokter, sebuah cita yang diberikan orang tua pada umumnya, dan saat ini, keputusan Tuhan akan terucap jelas oleh jawaban Om Farhan
”Asal kamu bisa dapat beasiswa minimal 3 semester Om coba bantu kamu”
Sungguh, Tuhanlah yang berhak menentukan.

---

Euforia kebebasan berkekspresi telah selesai dengan hasil coretan anak bangsa ada dimana-mana, di dinding, jalan, papan tulis sekolah, sampai baju biru muda-putih mereka. Semua hanya menandakan 1 hal, musim ketiga di Indonesia setelah musim kemarau dan musim hujan, sebuah musim kelulusan!
Setelahnya, dilanjutkan musim keempat yang begitu ada-ada saja di September 2009 ini, sebuah musim istimewa yang dialami orang naik tingkat ke jenjang berikutnya, tak main-main, status orang yang mengalaminya pun tidak sembarangan, mahasiswa, ternyata kata ’Maha’ juga bisa dimiliki manusia. Pengajarnya pun namanya tidak boleh sembarangan, dosen, kedengaran seperti gelar profesor di ’tanah asalnya’. Itulah musim pendaftaran, sungguh menakjubkan
Kata menakjubkan juga afdol dicapkan untuk Universitas Murah Bandung, berdiri di pusat kota Orang Sunda yang begitulah. Murah dan berkualitas, adalah kata yang diincar konsumen pendidikan yang afdol dicapkan untuk UMB
Disitulah Yuni sekarang sebagai mantan siswa SMA, membawa map yang—hanya ingin—minta ampun, dan mengalami musim pendaftaran kelima dalam pengalamannya, saat ini Yuni akan mengikuti prosedur formal seleksi penerimaan mahasiswa baru yang ada-ada saja, setelah beberapa hari sebelumnya mendaftarkan namanya pada daftar calon mahasiswa kedokteran yang sah
”Silakan dikerjakan, waktunya 2 jam, terima kasih sebelumnya telah memilih UMB sebagai universitas pilihan Anda” seorang penjaga tes yang berjas berkata, dialah calon dosen Yuni yang melobi rektor untuk menjaga tes agar income gajinya bulan ini sedikit naik
Yuni asyik mengerjakan soal psikotes, heran, soal yang sulitnya melebihi memilah jawaban yang benar pada pelajaran Bahasa Indonesia dilewatinya dengan lancar. Tentu sudah kodratnya manusia penjaga image tidak akan menggaruk-garuk kepala, sekedar melamun dengan dunianya, berdoa tapi tak belajar istikamah sebelumnya, atau berwisata pandangan untuk mencocokkan jawaban sebelahnya dengan jawabannya yang nyatanya masih kosong, tokoh utama yang dipastikan protagonis pun demikian sifatnya
Jangankan mendapat beasiswa, apabila Yuni tak lulus di tes pemilihan mahasiswa baru ini impiannya pun kandas, dan jadilah ia harus membantu saudara full time sampai ia dijemput pangeran pada waktunya, untuk itu, tidak ada satu pun tes yang diremehkan, seperti psikotes yang mudah bagi Einstein sampai wawancara dengan orang yang merasa ahli karena memang ahli di bidangnya
7 hari dilewatinya seperti seminggu untuk berikhtiar, sekarang Yuni sudah siap untuk melihat takdirnya setelah 1 minggu yang lalu mengikuti seleksi, pengumuman pendaftaran di kampus bisa dibayangkan anak SMP sekalipun, bersenggol ria bersama kerumunan calon lain adalah hal wajar pada musim keempat yang ada-ada saja ini, alternatif yang diciptakan untuk memudahkan manusia termasuk memberikan komentar status teman pun akhirnya yang dipilih Yuni, itulah internet, online, atau istilah-istilah lain yang hi-tech dan diberi perlakuan berbeda dengan kata yang dimiringkan yang menjadi cirinya
Jam 9 pagi Yuni berangkat setelah sebentar menghela napas dari balas budi untuk Omnya, warnet terdekat ada di desa sebelah karena rumah mewah mepet rumah mewah adalah perumahan elite yang dikelola swasta walhasil tidak ada satupun usaha jasa maupun barang yang nampak, siapapun juga berpikir developer lebih memilih membangun rumah untuk orang sangat mampu daripada membangun warnet, lokasinya saja di kaki gunung
Sebuah laman web resmi UMB telah dibukanya, ia meneliti satu per satu nama orang beruntung yang ada di tabel mahasiswa baru. Akhirnya ia mendapati lagi hasil menakjubkan yang kata orang adalah keadilan, Yunita Anggraeni, namanya telah tertera jelas di kumpulan nama pengobat masa depan. Alhamdulillah, syukur telah terpanjatkan pada Yang Maha Berkehendak
Dengan ini tinggal 1 rintangan agar ia bisa membanggakan mimpinya pada orang lain, rintangan mendapat beasiswa, patokan pun hanya 2, diterima atau tidak. Bersiap maju ke depan atau mengulang dari awal.
Maka hari ini, hari di mana Surya masih elok bersinar, hari di mana awan masih di atas, hari di mana Parijs Van Java masih menyimpan kesejukannya, hari di mana SBY masih menjadi presiden, hari di mana pertaruhan masih berlanjut, akan menjadi hari tes mendapat beasiswa
Tetap di kampus UMB, ada 2 tes meliputi Tes Potensi Akademik dan wawancara setelah mengumpulkan berkas pendaftaran, dengan Tes Potensi Akademik diujikan hari ini, inilah usaha Yuni yang terakhir setelah berusaha 9 halaman lamanya yang menjadi awal usaha selanjutnya. Sedang hasilnya dikirimkan lewat pos setelah beberapa dekan prihatin dengan pak pos di iklan Djarum lebaran lalu
Tak sampai 1 minggu surat berlabel Universitas Murah Bandung datang dengan pak pos, dibacanya surat itu dengan hati-hati sampai ia menemukan kata dicetak tebal dengan huruf balok, kata yang menjadi penantian sejak sumpah 10 tahun lalu saat Yuni menghadiahkan raport merah yang menjadi raport terakhir yang dibaca Sang Ibu, kata yang ditunggu setelah sekian lama ingin mengubah nasib, kata yang harus ditunjukkan pada Om Farhan untuk menagih janjinya, kata yang membuat sujud syukur terlaksana dengan indahnya, kata yang menjadi akhir ikhtiar dan awal usaha selanjutnya untuk mewujudkan mimpi indah yang nyata, kata itu adalah ...
Apa kau tahu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar