Jumat, 13 November 2009

FIRST LOVE

Oleh : Sheila Annisa S., Kelas VII A SM Al Firdaus

Bruk … suara benda jatuh. Hampir semua orang di ruangan itu kaget. Jatuhnya es teh yang kupegang ternyata bias mengalihkan perhatian orang-orang yang ada di ruangan itu, dan juga membuyarkan lamunanku. Aku malu saat itu terjadi. Aku langsung pulang.
Dirumah, mamiku bingung melihat anak semata wayangnya berlari masuk rumah tanpa mengucapkan apapun. Di hampirinya aku yang sedang berbaring di kamar.
“wid, kamu kenapa sayang? Kok tiba-toba masuk sambil berlari?” kata mamiku dengan lembut. Maklum aku anak tunggal jadi aku anak yang manja.
“Nggak apa-apa kok mi. widy hanya sedang malu mi” jawabku pada mamiku tercinta.
“Hayo widyku sayang kamu kenapa? Klo menurut mami kamu lagi jatuh cinta ya? Hahaha bercanda sayang.” Kata mamiku dengan lembut. Huh mamiku ini memang auka bercanda. Jadi pembaca harap maklum.
“Ih mami bisa aja. Widy kan malu mi.” jawabku malu. Wajahku yang putih ini dihiasi merah pipiku. Rasanya aku semakin manis saja. Hehe… PDnya aku
“Oh ya sudah wid, mami percaya kamu kok wid.” Kata mamiku sambil bercanda.
Ya ampun. Siapapun tolong aku. Aku ini kenapa. Kayaknya aku malu saja jika melihatnya. Apa lagi dekat dengannya. Kayaknya ada yang bergerak di dadaku ini. Mungkinkah ini…. Cinta pertamaku???? Aku ingin bertemu lagi dengannya. Tapi…. Kapan??? Apalagi aku nggak kenal dia. Uuhh smoga aku bisa ketemu dengannya. Amiiin (bkan mengejak pak amin).
Hari senin, hari yang paling aku benci. Upacara bendera. Tapi aku senang bisa ketemu Kevin, Tryan, dan Raka . Sahabat – sahabatku. Aku memang anak yang manja. Tapi teman – temanku cowok semua.
Saat bel pulang berbunyi, aku dan 3 sahabatku pulang bersama. Tiba – tiba ada motor yang menghampiri kami. Kami kaget kecuali Kevin. Dia langsung naik ke motor itu. Aku yang sangat kaget itu pun bertanya.
“Hey loe siapa? Gue belum pernah liat loe disini. And loe siapanya Kevin?” tanyaku penasaran. Tapi dia hanya tersenyum manis. Senyumnya menarik hatiku. Memikat hatiku. Dia membuka helmnya. Aku senang tapi…Kevin malah marah – marah.
“Kakak!!!! Kenapa kakak nggak bisa cepetan dikit kek. Gue pingin cepet – cepet sampe rumah and makan.” Kata Kevin sambil marah – marah ke cowok manis yang ternyata kakaknya Kevin. Aduh tuh keluarga lucu ya. Papinya cakep, maminya cantik, kakaknya cakepnya luar biasa, kevinnya cakep and manis, and adiknya cuantiknya bu, bu.
Langsung ya ke pokok masalah ceritanya. Soalnya penulisnya dah pegel – pegel. Pasti pembacanya juga. Okeh ayo ke pokok masalah.
Gini 2 minggu kemudian setelah kejadian mengejutkan diatas tadi (kalo nggak tau baca lagi sana. Males cerita lage). Okeh. Aku dan raka, tryan, and Kevin plus kakaknya Kevin, jalan – jalan ke taman safari. Kita naik mobilnya Kevin. Yang nyetir kakaknya Kevin. (nggak mungkin papinya yang nyetir, kasihan amat kalo itu terjadi). Tapi yang membuatku senang sekali adalah Kevin menyuruhku duduk di depan. Duduk di sebelah kakaknya Kevin. KYAAA. Bahagianya aku. Karena aku sudah kelas 2 SMA aku mulai di bebasin mami and papiku pergi bareng temen – temen. LANJUT  di mobil aku mendengarkan musik lagu Vierra-rasa ini, dan Gita gutawa feat Duo Maia- aku mau tapi malu.
Aku menyanyi di mobil. Kakaknya Kevin melihatku dengan tersenyum. Lalu bertanya.
“Eh dek, aku belum kenalan sama kamu ya. Namaku Derryansyah. Panggil aja derry.” Katanya manis.
“Oh ya. Ka’….” Belum selesai menjawab udah dipotong
“Derry aja. Nggak usah pake ka’.” Kata derry.
“Iya der. Aku widy soediro niclany. Panggil aku widy.” Kataku menjawabnya dengan senyum termanisku. Hihihi
Kami ngobrol ngalur-ngidor. Pkoknya nggak nentu degh. Sampai akhirnya dia bilang begini kepadaku.
“Eh wid, katanya Kevin kamu suka sama aku ya?” tanyanya.
“Eh???? E… iya der. Se.. sebe… narnya… aku suka kamu. Tapi… aku malu. Maafin aku ya der.” Jawabku ragu.
“Hahaha.. nggak perlu minta maaf koq wid, sebenarnya aku jga ska kamu. Hmmm… jadi kamu mau nggak jadi pacarku??? Pleace mau yaw id.” Pintanya. Aku kaget mendengarnya aku sebenarnya mau. Tapiiii… aku masih mau bebas.
“Sorry adja ya der… tapi aku pingind bebas aja. Mending kita temenan aja.” Jawabku. Setelah itu aku sama dia temenan. Hiks hiks kasihan widy.

CELLERY

Oleh :Nadira, kelas VIIA SM Al Firdaus

“Hai…kata,”Cellery.
”Hai juga…” kata ke-3 sahabatnya. Cellery Mutia Putri adalah nama panjang dari Cellery yang sekolah di SMA Citra Internasional Bangsa. Ia punya tiga sahabat yaitu Chintya, Sasnia dan Helly. Mereka sudah bersahabat sejak kelas 7. Cellery bersekolah di sekolah menengah yang berstandar Internasional, dimana dalam komunikasi, pengantar pelajaran menggunakan bahasa Inggris, tetapi bahasa Indonesia dan bahasa daerah juga digunakan. Hari Senin dan Kamis menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggris. Selasa dan Jum’at memakai bahasa Indonesia. Rabu dan Sabtu berbahasa jawa kromo halus. Anak-anak yang bersekolah di sana bukan anak sembarangan. Anak yang bersekolah di CIB adalah anak yang berprestasi tanpa memandang status ekonomi. Fasilitas CIB sangat memadai. Ada Laborat bahasa, Laborat Sains, Perpustakaan, Lapangan Basket, Lapangan Sepak Bola, dan kantin seperti food court. Waaaaahhhhh, pokoknya keren dech…..
Cellery pintar di bidang biologi dan ikut memperkuat tim basket CIB. Setiap ke sekolah dia naik sepeda biru dengan bel khasnya toeeeettttt………...toeeeeeeeeetttttttttt…… seperti klakson bis yang selalu bikin kaget orang sekitar. Tas ransel bertuliskan: Say No Narkoba, Prestasi YES!!!! bertengger dipunggungnya. Sepatu kets corak batik dan kaos kaki pendek selalu menemaninya. Yang khas lagi Cellery selalu bercelana panjang dan berjilbab. Hari Senin adalah hari yang tidak disukainya, karena ia harus memakai rok. “Ahhh ribetnya.” itulah komentarnya.
Teeeeettttt…………… teeeeetttttttt………
Bel tanda masuk kelas berbunyi, anak-anak pun masuk ke kelas. Bunyi sepatu hak tinggi Ms Sarah sudah terdengar. Beliau adalah guru asuh di Kelas 10A dan mengajar bahasa Inggris.
“Anak-anak hari ini kita mendapat murid baru. Sekarang kita beri kesempatan agar memperkenalkan dirinya.”
“My name is Andhika Pratama and you can call me Dhika. Saya pindahan dari Surabaya.”
“Sudah punya cewek belum?” celetuk Helly sambil cengengsan
“Helly! coba kamu rem dikit candamu, tanyakan saja prestasinya,” tegur Ms Sarah
“Hehehe….iya Ms. Prestasi apa yang telah kau raih Dhika?” ujar Helly
“Di sekolah lama saya sebagai anggota OSIS yang membidangi olah raga, Kebetulan hobi saya basket dan saya memperkuat tim basket sekolah”
“Cihuiiiii…..Cellery punya tandingan ni yee…. eh tandingan atau partner?” celetuk Chintya
Wajah Cellery seketika itu berubah merah, karena pada saat itu dia memang lagi terpesona dengan Dhika
“Nah anak-anak, cukup sekian perkenalannya. Kalian bisa lanjutkan pada jam istirahat. Sekarang buka bukunya halaman 105. Kerjakan activity 1. Cellery, kumpulkan pekerjaan teman – temenmu jika sudah selesai.” kata Ms Sarah
“Siap kerjakan Miss!” jawab Cellery
Teeeeeeetttttt……teeeeettttt……..
Bel tanda istirahat sudah berbunyi, berempat pun segera berlari menuju ke kantin. Sambil menunggu makanan datang mereka bercanda.
“Gimana Cel, tertarik sama Dhika?,” Celetuk Helly secara tiba-tiba
“Bisa-bisa Cellery mengganti celana panjangnya dengan rok panjang.” Ujar Chintya sambil tertawa-tawa.
“Sepatu ketsmu diganti hak tinggi, bel sepadamu jadi tuiittttttt…….” Kata Sasnia,
Berempat tertawa terbahak-bahak. Tidak tampak wajah marah Cellery walaupun dicandai teman-temannya. Inilah salah satu sifat Cellery yang sangat disenagi teman-temannya. Tiba-tiba…
“Hai….. Boleh duduk disini?” Tanya Dhika.
“Oh… boleh, boleh silahkan.” Jawab Cellery tergagap-gagap….
“Geser-geser beri kesempatan buat Cellery dong..” Canda Sasnia.
Pipi Celery tampak kemerahan tapi dia senang karena dia duduk dekat Dhika. Dari pertama Cellery lihat Dhika dia sudah tertarik dengan prestasinya.
Waktu seolah cepat berlalu, tak terasa bel pulang sekolah berbunyi. Cuaca mendung, takut kehujanan Cellery cepat-cepat ke penitipan sepeda. Dia kayuh cepat-cepat sepedanya, tiba-tiba. Brrraaaaaaakkkkkkk. “Innalillahi.” Jerit Cellery. Terkejutlah Cellery karna ia menabrak seorang penyebrang jalan yang berlari. Celery segera menolong orang yang ditabraknya.
“Lho kok kamu Dhika. Maaf aku tadi naik sepeda ngebut. Karna aku takut kehujannan. Kamu gak apa-apa kan. Apanya yang luka.” Tanya Cellery nyerocos aja.
Dhika berdiri sambil menahan sakit tangannya.
“Aku gak apa-apa. Hanya lecet sedikit. Aku juga minta maaf. Karena nyebrang jalan gak tengok kanan kiri. Karna seperti kamu takut kehujanan.”
Byurrr… Hujan deras mengguyur. Mereka berdua tanpa dikomando berlari mencari tempat berteduh.
“Hellooww….. kehujanan ya…… mau pulang bareng aku atau mau nungguin hujan reda bareng Dhika, Cel??” kata Helly. Dalam mobil tampak Helly dan Chintya senyum-senyum.
“Eh iya. Ada apa? Hujan deras nihh, aku gak denger.”
“Hayo kesempatan ya Cel. Hujan-hujan berduaan.” sahut Chintya.
“Gak tuh.” Melototi mereka berdua.
Dengan cueknya mobil mereka berlalu meninggalkan mereka berdua. Sebentar kemudian hujan reda Cellery dan Dhika balik ke rumah masing – masing.
Hari ini hari Jum’at, tidak ada pelajaran hanya ekskul. Cellery ikut basket karena dia sebagai tim basket sekolah, dan keputrian (seperti belajar make-up,memasak,dll) karena disuruh ibunya.
Teeeettttt…………teeeeettttttt………….
Bel tanda dimulainya ekskul. Ekskul Cellery dan Dhika yang pertama yaitu basket. Sebelum melakukan permainan guru pembimbing meminta anak-anak untuk pemanasan dulu, dilanjutkan lari keliling lapangan lalu bermain basket.
Selesai ekskul basket, Cellery dan Dhika ke kantin mereka tampak akrab mengobrol. Teman-teman Cellery pun langsung bergabung. Dan mengobrol.
Ada semut ada gula, dimana ada Cellery disitu ada Dhika. Mereka berdua sepakat berpacu dalam prestasi dan memajukan tim basket CIB. Siapa yang prestasinya lebih rendah harus mentraktir selama tiga hari berturut-turut.

Selasa, 05 Mei 2009

Sahabat Terbaik


SAHABAT TERBAIK

Oleh : Aminah Lina,
Kelas 6B SD Al Firdaus

Hai, namaku Ditto, aku tinggal di Bandung. Semalam hujan deras membasahi kota Bandung. Malam itu, di tidurku yang nyenyak, aku bermimpi bertemu dengan ayahku. Ayahku sudah meninggal ketika aku masih kecil. Namun mimpiku terpotong oleh suara jeritan adikku, Yunna. Adikku yang berumur dua tahun ini kaget sekaligus takut mendengar gelegar petir, di tengah hujan deras yang sejak tadi malam mengguyur tiada henti. Ditambah baju Yunna yang basah. bukan karena ngompol akan tetapi terkena tetesan air hujan dari atap rumah yang bocor. Rumahku yang bisa dibilang seperti gubuk itu bocor di beberapa bagian.
Ibu menenangkan Yunna sambil sibuk mencari plastik untuk menambal atap rumah yang bocor itu. Aku langsung bangkit dari tidurku karena teringat akan mading yang kukerjakan bersama teman-temanku tadi siang. Namun belum sempat aku menyelamatkan buku-buku dan mading itu, tiba-tiba terdengar suara ibu memanggilku untuk memegangi kursi yang akan dinaiki untuk membetulkan atap. Dengan sigap aku memegangi kursi agar ibu tidak jatuh saat menambal genting.
Hujan yang semakin deras, membuat atap rumah kami sesekali terangkat oleh angin yang bertiup demikian kencang itu. Atap yang telah ditempeli plasik itupun tetap dialiri air.
Aku kembali teringat akan mading, buku-buku, sepatu dan barang-barang sekolah lainnya. Saat aku menuju ke arah karyaku dan teman-teman, ternyata aku sudah terlambat menyelamatkannya. Ya, karena mading karyaku dan teman-teman itu bukan hanya basah, namun huruf-hurufnya pun luntur terbawa air.
Pikiranku langsung terbayang bagaimana jadinya ketika besok aku masuk sekolah. Memang guruku di sekolah yang bernama bu Afifa itu tidak galak sama sekali. Jika di sekolah ia biasa dipanggil dengan bu Fifa. Ia tidak pernah menghukum murid-muridnya. Paling Ia akan menyuruh murid yang melanggar peraturan untuk berlari mengelilingi lapangan atau memberi tugas tambahan sebagai hukumannya. Itupun juga tidak banyak, tidak seperti guru-guru lainnya. Setelah itu bu Fifa akan menepuk-nepuk bahu kami dan memberi nasehat yang singkat, padat namun jelas dan tidak menyinggung perasaan. Dan yang paling kami sukai dari bu Fifa adalah cara mengajarnya. Kadang-kadang menggunakan game, kadang-kadang bercerita, kadang-kadang mengajak kami ke taman. Katanya sih biar kami tidak bosan dengan pelajaran yang diberikan.
Jadi bu Fifa tidak akan jadi masalah. Tapi … yang membuat aku gelisah adalah, saat aku terbayang wajah Aviv, Floren dan Reza yang begitu bersemangat mengerjakan mading ini. Dan sekarang aku pula yang merusakan mading ini. Apa kata Aviv, Floren dan Reza besok? Mereka pasti akan menyalahkanku habis-habisan. Padahal setelah naik kelas V ini kami berempat sudah bertekad untuk menjadi murid yang baik. Selain bosan akan hukuman, kami juga kasihan kepada bu Fifa. Bu Fifa terlalu baik dan lunak pada murid-muridnya, tetapi justru banyak murid yang meyepelekan. Oleh karena itu kami berempat bertekad untuk tidak mengecewakan bu Fifa lagi. Namun apa kata bu Fifa besok ketika melihat kelompok kami tidak bisa menunjukkan tugas mading kami?
Akankah besok bu Fifa masih bisa tersenyum lagi? Padahal sampai batas waktu yang ditentukan kami belum dapat mengumpulkan tugas ini. Setetes air kembali jatuh membasahi mading, tapi kali ini bukan air hujan melainkan air mataku. Ibu memelukku erat-erat sambil menghiburku. Ah, ibu, engkau terlalu tegar menghadapi hidup ini walau ayah telah tiada, dan hidup kami sekarang serba kekurangan. Akupun akhirnya tertidur dipelukkan ibu diiringi rintik hujan yang mulai reda.
***

Pagi ini aku bangun kesiangan. Adikku masih tidur di sampingku. Di dapur kulihat ibu yang sedang berusaha untuk mengeringkan baju, sepatu, tas, dan buku-buku pelajaranku yang basah kuyub terkena air hujan. Ibu mengeringkan bajuku di dekat kompor.
Saat melihatku bangun, ibu tersenyum kepadaku dan berkata, “Dit, hari ini ibu sudah menitipkan surat ijin ke sekolah pada Susi”.
“Bu, tapi hari ini adalah hari terakhir pengumpulan tugas mading. Bagaimana nilai teman-teman dan Dito, Bu? Kata bu Fifa nilai itu akan dimasukkan ke dalam daftar nilai,“ ucapku sambil menangis.
Ibu menjelaskan dengan lembut bahwa bukan hanya mading dan buku-buku saja yang basah namun seragam dan alat sekolah lainnya juga basah sehingga aku tidak mungkin berangkat ke sekolah. Aku melihat ibu sangat sedih. Sedih yang mendalam seperti saat mendengar kabar bahwa ayah mengalami kecelakaan dan meninggal. Aku tidak mau ibu sedih, segera kubantu ibu megeringkan buku-bukuku. Kemudian kubantu juga ibu memasukkan keripik yang akan dijual ke dalam plastik.
“Bu, kemarin tante Rita minta tambahan 25 bungkus keripik pedas dan 10 bungkus keripik manis“ ucapku mencoba mengalihkan perhatian ibu.
Ibu hanya diam. Namun tangannya tetap cekatan membungkus keripik. Setengah jam kemudian semua keripik sudah selesai kami bungkus.
Seperti biasa, setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah, aku mengantar keripik buatan ibuku ke warung-warung. Kali ini aku kesiangan, jadi harus cepat-cepat mengantarnya. Namun baru saja selangkah aku keluar rumah, ketiga sahabatku datang. Mereka masih mengenakan seragam sekolah. Rupanya mereka menggunakan jam istirahat untuk datang ke rumahku yang memang letaknya tidak jauh dari sekolah.
Aviv langsung bercerita kalau mading kami pasti yang paling bagus diantara mading karya kelompok lain. Si Reza berbisik di telingaku, dia minta aku memberinya secara gratis sebungkus keripik yang siap kuantar. Sementara si cerdas Floren bertanya kenapa aku izin tidak masuk sekolah hari ini.
Aku mengajak ketiga sahabatku itu masuk ke rumahku. Mading yang telah kering dan dalam keadaan tergulung itu aku serahkan kepada teman-temanku. Aku tertunduk pasrah. Apapun yang akan mereka katakana padaku akan aku terima.
Mereka mengamati mading yang telah rusak parah itu. Hening.
Aviv tiba-tiba menengadah ke atap rumahku yang bolong.
“Oh … tadi malam di sini ada hujan badai ya ?” ucapnya sambil memandang lucu ke arahku.
Aku hanya bisa mengangguk.
“Gimana dong Dit? Kita kan sudah janji sama bu Fifa kalau hari ini akan mengumpulkan mading,” ujar Reza dengan resah.
Belum sempat aku menjawab, ibuku hadir diantara kami dengan membawakan tiga cangkir teh dan dua piring keripik. Baru saja ibuku berlalu, teman-temanku langsung menyerbu keripik buatan ibu. Kurang dari lima detik dua piring keripik sudah lenyap termakan habis oleh teman-temanku.
“Aku punya ide!” seru Floren sambil mengunyah keripik yang terakhir. ”Bagaimana kalau kita membuat lagi mading yang baru?”
”Lalu apa jawab kita kalau bu Fifa nanti menanyakan tugas mading kelompok kita?” Reza menyela sambil menyeruput tehnya.
Buru-buru Aviv menyahut, ”kita jelaskan saja apa yang sebenarnya terjadi. Bu Fifa kan penuh pengertian. Pasti Bu Fifa akan mengerti mengapa kita tidak bisa mengumpulkan tugas hari ini.”
”Iya Viv aku sependapat denganmu,” imbuh Floren. Florenpun lalu menyimpulkan, ”Kalau begitu nanti sore sepulang sekolah kita kembali ke sini untuk membuat mading lagi. Setuju?”
”Setuju...,” seru kami serempak sambil melakukan tos tangan.
Tiba-tiba Yunna, adikku yang berumur 3 tahun, menghampiri kami. Dengan bicaranya yang cadel dia bercerita, “tadi pagi kak Ditto nangis, bajunya bacah, sepatunya lucak.“
“Oh iya to dik?” goda Aviv sambil bangkit dari duduknya dan berjalan menuju dapur.
Rumahku memang sangat sederhana, antara dapur dan ruang tamu tidak ada penyekatnya. Beberapa saat kemudian Aviv kembali sambil berseru, “hey awas! Ada buaya!“
“Hah! Mana!?“ seru kami kaget bukan main.
Sambil cekikikan Aviv memperlihatkan sepatuku yang menganga di depannya. Segera kuraih sepatuku dari tangan Aviv dan menyembunyikan di belakang punggung. Floren dan Reza tertawa teringkal-pingkal.
“Bungkusan kripik ini mau kau bawa kemana Dit?” tanya Reza setelah tawanya reda.
“Dititipkan ke warung-warung,“ jawabku pendek sambil masih menyembunyikan rasa malu soal sepatu.
“Kalau begitu mari kami bantu mengantar ke warung-warung sambil kami kembali ke sekolah,“ kata Aviv.
“Baiklah kalau begitu. Terimakasih sebelumnya teman-teman,” Ujarku lirih. Tak kuasa ku menolak kebaikan sahabat-sahabatku ini.
***

Sore hari mereka kembali ke rumahku. Tapi yang aneh, mereka membawa plastik berwarna hitam. Tapi aku tak begitu memedulikannya karena kami langsung membuat mading dengan begitu bersemangat. Bahkan lebih bersemangat dari sebelumnya.
“Akhirnya selesai juga mading kami,“ kata Floren sambil merentangkan tangan ke atas.
“Bagus sekali ya mading ini,“ ujar Reza dengan perasaan bangga.
“Yuk kami antarkan madding ini ke rumah bu Fifa,” ajak Aviv.
Rumah bu Fifa terletak beberapa gang dari sekolah sehingga tidak terlalu jauh dari rumahku. Kamipun berjalan beriringan menuju rumah bu Fifa. Di tengah jalan aku teringat akan bungkusan plastik hitam yang mereka bawa ke rumahku.
“Hei kalian ingat tidak dengan bungkusan plastik yang kalian bawa ke rumahku? Kenapa kalian meninggalkan plastik itu?” tanyaku pada teman-teman.
“Memang sengaja kami tingggal karena itu untuk kamu Dit,” jawab Reza sambil melirik ke arah Aviv dan Floren.
”Ah masa? Apa sih isinya?” tanyaku penasaran.
”Ada deh... Nanti lihat saja sendiri,”jawab Floren sambil senyum.
Aku makin penasaran. Tapi mereka tampak makin senang melihatku penasaran.
Kami meneruskan perjalanan.
Seusai menyerahkan tugas ke bu Fifa, kami berpisah di jalan untuk pulang ke rumnah masing-masing.
Sesampai di rumah aku langsung membuka palstik hitam itu yang ternyata berisi sepatu, dan 3 buah buku tulis baru. Aku pun langsung memeluk ketiga barang dari sahabatku itu. Terimakasih sahabat, kalian sungguh pengertian.

--o0o--