Selasa, 05 Mei 2009

Sahabat Terbaik


SAHABAT TERBAIK

Oleh : Aminah Lina,
Kelas 6B SD Al Firdaus

Hai, namaku Ditto, aku tinggal di Bandung. Semalam hujan deras membasahi kota Bandung. Malam itu, di tidurku yang nyenyak, aku bermimpi bertemu dengan ayahku. Ayahku sudah meninggal ketika aku masih kecil. Namun mimpiku terpotong oleh suara jeritan adikku, Yunna. Adikku yang berumur dua tahun ini kaget sekaligus takut mendengar gelegar petir, di tengah hujan deras yang sejak tadi malam mengguyur tiada henti. Ditambah baju Yunna yang basah. bukan karena ngompol akan tetapi terkena tetesan air hujan dari atap rumah yang bocor. Rumahku yang bisa dibilang seperti gubuk itu bocor di beberapa bagian.
Ibu menenangkan Yunna sambil sibuk mencari plastik untuk menambal atap rumah yang bocor itu. Aku langsung bangkit dari tidurku karena teringat akan mading yang kukerjakan bersama teman-temanku tadi siang. Namun belum sempat aku menyelamatkan buku-buku dan mading itu, tiba-tiba terdengar suara ibu memanggilku untuk memegangi kursi yang akan dinaiki untuk membetulkan atap. Dengan sigap aku memegangi kursi agar ibu tidak jatuh saat menambal genting.
Hujan yang semakin deras, membuat atap rumah kami sesekali terangkat oleh angin yang bertiup demikian kencang itu. Atap yang telah ditempeli plasik itupun tetap dialiri air.
Aku kembali teringat akan mading, buku-buku, sepatu dan barang-barang sekolah lainnya. Saat aku menuju ke arah karyaku dan teman-teman, ternyata aku sudah terlambat menyelamatkannya. Ya, karena mading karyaku dan teman-teman itu bukan hanya basah, namun huruf-hurufnya pun luntur terbawa air.
Pikiranku langsung terbayang bagaimana jadinya ketika besok aku masuk sekolah. Memang guruku di sekolah yang bernama bu Afifa itu tidak galak sama sekali. Jika di sekolah ia biasa dipanggil dengan bu Fifa. Ia tidak pernah menghukum murid-muridnya. Paling Ia akan menyuruh murid yang melanggar peraturan untuk berlari mengelilingi lapangan atau memberi tugas tambahan sebagai hukumannya. Itupun juga tidak banyak, tidak seperti guru-guru lainnya. Setelah itu bu Fifa akan menepuk-nepuk bahu kami dan memberi nasehat yang singkat, padat namun jelas dan tidak menyinggung perasaan. Dan yang paling kami sukai dari bu Fifa adalah cara mengajarnya. Kadang-kadang menggunakan game, kadang-kadang bercerita, kadang-kadang mengajak kami ke taman. Katanya sih biar kami tidak bosan dengan pelajaran yang diberikan.
Jadi bu Fifa tidak akan jadi masalah. Tapi … yang membuat aku gelisah adalah, saat aku terbayang wajah Aviv, Floren dan Reza yang begitu bersemangat mengerjakan mading ini. Dan sekarang aku pula yang merusakan mading ini. Apa kata Aviv, Floren dan Reza besok? Mereka pasti akan menyalahkanku habis-habisan. Padahal setelah naik kelas V ini kami berempat sudah bertekad untuk menjadi murid yang baik. Selain bosan akan hukuman, kami juga kasihan kepada bu Fifa. Bu Fifa terlalu baik dan lunak pada murid-muridnya, tetapi justru banyak murid yang meyepelekan. Oleh karena itu kami berempat bertekad untuk tidak mengecewakan bu Fifa lagi. Namun apa kata bu Fifa besok ketika melihat kelompok kami tidak bisa menunjukkan tugas mading kami?
Akankah besok bu Fifa masih bisa tersenyum lagi? Padahal sampai batas waktu yang ditentukan kami belum dapat mengumpulkan tugas ini. Setetes air kembali jatuh membasahi mading, tapi kali ini bukan air hujan melainkan air mataku. Ibu memelukku erat-erat sambil menghiburku. Ah, ibu, engkau terlalu tegar menghadapi hidup ini walau ayah telah tiada, dan hidup kami sekarang serba kekurangan. Akupun akhirnya tertidur dipelukkan ibu diiringi rintik hujan yang mulai reda.
***

Pagi ini aku bangun kesiangan. Adikku masih tidur di sampingku. Di dapur kulihat ibu yang sedang berusaha untuk mengeringkan baju, sepatu, tas, dan buku-buku pelajaranku yang basah kuyub terkena air hujan. Ibu mengeringkan bajuku di dekat kompor.
Saat melihatku bangun, ibu tersenyum kepadaku dan berkata, “Dit, hari ini ibu sudah menitipkan surat ijin ke sekolah pada Susi”.
“Bu, tapi hari ini adalah hari terakhir pengumpulan tugas mading. Bagaimana nilai teman-teman dan Dito, Bu? Kata bu Fifa nilai itu akan dimasukkan ke dalam daftar nilai,“ ucapku sambil menangis.
Ibu menjelaskan dengan lembut bahwa bukan hanya mading dan buku-buku saja yang basah namun seragam dan alat sekolah lainnya juga basah sehingga aku tidak mungkin berangkat ke sekolah. Aku melihat ibu sangat sedih. Sedih yang mendalam seperti saat mendengar kabar bahwa ayah mengalami kecelakaan dan meninggal. Aku tidak mau ibu sedih, segera kubantu ibu megeringkan buku-bukuku. Kemudian kubantu juga ibu memasukkan keripik yang akan dijual ke dalam plastik.
“Bu, kemarin tante Rita minta tambahan 25 bungkus keripik pedas dan 10 bungkus keripik manis“ ucapku mencoba mengalihkan perhatian ibu.
Ibu hanya diam. Namun tangannya tetap cekatan membungkus keripik. Setengah jam kemudian semua keripik sudah selesai kami bungkus.
Seperti biasa, setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah, aku mengantar keripik buatan ibuku ke warung-warung. Kali ini aku kesiangan, jadi harus cepat-cepat mengantarnya. Namun baru saja selangkah aku keluar rumah, ketiga sahabatku datang. Mereka masih mengenakan seragam sekolah. Rupanya mereka menggunakan jam istirahat untuk datang ke rumahku yang memang letaknya tidak jauh dari sekolah.
Aviv langsung bercerita kalau mading kami pasti yang paling bagus diantara mading karya kelompok lain. Si Reza berbisik di telingaku, dia minta aku memberinya secara gratis sebungkus keripik yang siap kuantar. Sementara si cerdas Floren bertanya kenapa aku izin tidak masuk sekolah hari ini.
Aku mengajak ketiga sahabatku itu masuk ke rumahku. Mading yang telah kering dan dalam keadaan tergulung itu aku serahkan kepada teman-temanku. Aku tertunduk pasrah. Apapun yang akan mereka katakana padaku akan aku terima.
Mereka mengamati mading yang telah rusak parah itu. Hening.
Aviv tiba-tiba menengadah ke atap rumahku yang bolong.
“Oh … tadi malam di sini ada hujan badai ya ?” ucapnya sambil memandang lucu ke arahku.
Aku hanya bisa mengangguk.
“Gimana dong Dit? Kita kan sudah janji sama bu Fifa kalau hari ini akan mengumpulkan mading,” ujar Reza dengan resah.
Belum sempat aku menjawab, ibuku hadir diantara kami dengan membawakan tiga cangkir teh dan dua piring keripik. Baru saja ibuku berlalu, teman-temanku langsung menyerbu keripik buatan ibu. Kurang dari lima detik dua piring keripik sudah lenyap termakan habis oleh teman-temanku.
“Aku punya ide!” seru Floren sambil mengunyah keripik yang terakhir. ”Bagaimana kalau kita membuat lagi mading yang baru?”
”Lalu apa jawab kita kalau bu Fifa nanti menanyakan tugas mading kelompok kita?” Reza menyela sambil menyeruput tehnya.
Buru-buru Aviv menyahut, ”kita jelaskan saja apa yang sebenarnya terjadi. Bu Fifa kan penuh pengertian. Pasti Bu Fifa akan mengerti mengapa kita tidak bisa mengumpulkan tugas hari ini.”
”Iya Viv aku sependapat denganmu,” imbuh Floren. Florenpun lalu menyimpulkan, ”Kalau begitu nanti sore sepulang sekolah kita kembali ke sini untuk membuat mading lagi. Setuju?”
”Setuju...,” seru kami serempak sambil melakukan tos tangan.
Tiba-tiba Yunna, adikku yang berumur 3 tahun, menghampiri kami. Dengan bicaranya yang cadel dia bercerita, “tadi pagi kak Ditto nangis, bajunya bacah, sepatunya lucak.“
“Oh iya to dik?” goda Aviv sambil bangkit dari duduknya dan berjalan menuju dapur.
Rumahku memang sangat sederhana, antara dapur dan ruang tamu tidak ada penyekatnya. Beberapa saat kemudian Aviv kembali sambil berseru, “hey awas! Ada buaya!“
“Hah! Mana!?“ seru kami kaget bukan main.
Sambil cekikikan Aviv memperlihatkan sepatuku yang menganga di depannya. Segera kuraih sepatuku dari tangan Aviv dan menyembunyikan di belakang punggung. Floren dan Reza tertawa teringkal-pingkal.
“Bungkusan kripik ini mau kau bawa kemana Dit?” tanya Reza setelah tawanya reda.
“Dititipkan ke warung-warung,“ jawabku pendek sambil masih menyembunyikan rasa malu soal sepatu.
“Kalau begitu mari kami bantu mengantar ke warung-warung sambil kami kembali ke sekolah,“ kata Aviv.
“Baiklah kalau begitu. Terimakasih sebelumnya teman-teman,” Ujarku lirih. Tak kuasa ku menolak kebaikan sahabat-sahabatku ini.
***

Sore hari mereka kembali ke rumahku. Tapi yang aneh, mereka membawa plastik berwarna hitam. Tapi aku tak begitu memedulikannya karena kami langsung membuat mading dengan begitu bersemangat. Bahkan lebih bersemangat dari sebelumnya.
“Akhirnya selesai juga mading kami,“ kata Floren sambil merentangkan tangan ke atas.
“Bagus sekali ya mading ini,“ ujar Reza dengan perasaan bangga.
“Yuk kami antarkan madding ini ke rumah bu Fifa,” ajak Aviv.
Rumah bu Fifa terletak beberapa gang dari sekolah sehingga tidak terlalu jauh dari rumahku. Kamipun berjalan beriringan menuju rumah bu Fifa. Di tengah jalan aku teringat akan bungkusan plastik hitam yang mereka bawa ke rumahku.
“Hei kalian ingat tidak dengan bungkusan plastik yang kalian bawa ke rumahku? Kenapa kalian meninggalkan plastik itu?” tanyaku pada teman-teman.
“Memang sengaja kami tingggal karena itu untuk kamu Dit,” jawab Reza sambil melirik ke arah Aviv dan Floren.
”Ah masa? Apa sih isinya?” tanyaku penasaran.
”Ada deh... Nanti lihat saja sendiri,”jawab Floren sambil senyum.
Aku makin penasaran. Tapi mereka tampak makin senang melihatku penasaran.
Kami meneruskan perjalanan.
Seusai menyerahkan tugas ke bu Fifa, kami berpisah di jalan untuk pulang ke rumnah masing-masing.
Sesampai di rumah aku langsung membuka palstik hitam itu yang ternyata berisi sepatu, dan 3 buah buku tulis baru. Aku pun langsung memeluk ketiga barang dari sahabatku itu. Terimakasih sahabat, kalian sungguh pengertian.

--o0o--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar